Minggu, 26 Oktober 2008

Cerpen-Cerpen

GAJI BARU

Cerpen oleh Fahrurraji Asmuni

Dia begitu gembira pulang ke rumah. Gaji baru golongan IV/a telah diterima.Semoga dengan gaji itu si istri tidak mengomel lagi. Tetangga pun tidak akan menonton percekcokannya lagi. Gaji baru itu lebih dari cukup. Hampir tiga juga. Sudah termasuk tunjangan keluarga dan tunjangan fungsional.

Memang selama ini gaji yang diterima selalu tidak mencukupi untuk menghidupi satu istri dan empat orang anak. Sementara si istri tidak pandai menghemat. Akibatnya minggu akhir setiap bulan selalu terjadi pertengkaran.Bila demikian ramailah tetangga berdatangan menonton pertunjukan gratis. Jalan keluarnya adalah mengutang dengan tetangga atau sanak saudara.

“ Ma ! Mama,” katanya kepada istrinya ketika tiba di rumah. “ Ini gaji Ma gaji kita yang baru.”

Dengan sigap si istri mengambil amplop dari tangan suaminya lalu membukanya.

“ Mana uangnya,Pa! Amplopnya kosong doang.”

“ Jangan bercanda ,Ma .”

“ Papa yang bercanda. Masa amplop kosong yang diberikan kepada mama , “ cecar istrinya.

Bondan kaget. Amplop itu memang kosong. Raib kemana ya uangnya , pikirnya. Diambil tuyulkah ? Atau uang itu diolesi minyak kuyangkah ? Kalau tidak , mengapa uangnya tidak ada ?

Dia yakin seyakinnya bahwa uang itu ada dalam amplop.Sebelum meninggalkan bendaharawan gaji dia menghitungnya beberapa kali. Ada dua puluh delapan lembar uang ratus ribuan. Tercecer ? Tidak mungkin. Saku celana tempat menyimpan amplop itu tidak bolong. Ataukah ada teman yang diam-diam mengambil amplop dari saku celananya ketika ngobrol tadi.Sekadar untuk bercanda seperti yang sudah-sudah.

“ Coba diingat-ingat, Pa ! Di mana menaruhnya .“

“ Ini lagi mikir , Ma.”

“ Kalau hilang celaka, Pa! Kan hari ini Mama mau bayar arisan. Malu kalau nunggak. Nanti orang bilang masa baru gajian tak punya uang. Mana beras sudah habis. Begitu pula minyak, garam dan keperluan dapur lainnya. Hari ini Papa juga berjanji mau membelikan pakaian seragam , sepatu , buku ,dan kaset CD , kaset PS ,” cecar istrinya.

Tanpa mendengarkan ocehan istrinya Bondan kembali ke kantor , tempat dia mengambil gaji. Untung bendaharawan gaji teman-teman lain belum pulang. Tanpa mengetuk pintu dan memberi salam Bondan masuk ruang bendaharawan gaji. Matanya liar. Setiap benda yang ada di ruang itu tidak lepas dari sorotan mata elangnya. Lebih-lebih tatapan kepada bendaharawan.

Ada apa, Dan ? Kon beringas begitu ,” sapa Bendaharawan.

“ Uang gaji saya tidak ada dalam amplop.”

“ Tercecer barangkali.”

“ Tidak mungkin.”

“ Lalu kau mencurigai aku ? “

“ Tidak”

“ Mengapa tatapanmu kepadaku penuh curiga ? “

“ Kalau-kalau uang gajiku ada ketinggalan di ruang ini dan Bapak mengamankannya.”

“ Tadi aku lihat kau memasukkan uang itu ke dalam saku celanamu.”

“ Benar Bapak melihatnya ? “

“ Suer, masa aku bohong.”

“ Kalau begitu permisi.”

Dia keluar ruang bendaharawan.Dicarinya uang itu di tempat ngobrol dengan teman-teman tadi. Tetapi uang itu tidak ditemukannya. Dicari di sepanjang jalan yang pernah dilaluinya. Juga tidak ada.

“ Barangkali Hasan tahu tentang uangku. Dia tadi duduk mepet denganku ketika ngobrol.,” ocehnya.

Meluncurlah Yamaha Super Delux menuju rumah Hasan , di jalan Sabran Afandi. Karena pikiran kacau nyaris tertabrak seorang nenek yang sedang menyebrang jalan.

Ternyata Hasan tidak ada di rumah. Dia pergi ke pasar membeli keperluan rumah tangga. Sebenarnya Bondan ingin menunggunya. Tetapi istri Hasan itu sangat genit. Takut kalau timbul fitnah.

Kemudian Bondan menyambangi rumah Amir di Alamatan , belakang Masjid Raya Amuntai. Siapa tahu uang gajinya ada di tangan Amir.Kan dia tadi saat ngobrol beberapa kali menepuk saku celana bagian belakang.

“ Mir , aku ingin bertanya, “ kata Bondan ketika sampai di rumah Amir.

“ Silakan ! Silakan Tanya ! Soal politik, ekonomi, keamanan , budaya atau yang lainnya ,” jawab amir.

“ Bukan soal itu.”

“ Lantas mengenai apa ?”

“ Mir , uang gajiku tidak ada dalam amplop.”

“ Kau mencurigai aku yang mengambilnya.”

“ Tidak.”

“ Mengapa kau datang ke rumahku.”

“ Barusan kukatakan bahwa aku ingin bertanya. Apakah kau ada menemukan uang itu.”

“ Tidak ada, Dan !”

“ Bukankah kau tadi yang menepuk-nepuk pantatku ? “

“ Benar. Tetapi bukan berarti aku yang mengambil uangmu.”

“ Ah, jangan bercanda , Mir.”

“ Aku serius.”

“ Lalu kemana ya raibnya uangku ? “

“ Mana aku tahu ! “

Dia tinggalkan rumah Amir. Pulang ke rumah. Di atas kenderaan pikirannya semakin kalut , istrinya bakalan marah-marah kalau uang tersebut tidak ditemukan. Tetapi kemana lagi mencarinya ? Mengapa setelah menerima gaji tidak langsung pulang ? Mengapa uang tersebut diletakkan di saku celana belakang ? Mengapa tidak di dalam dompet ? Mengapa ? Mengapa ? Sesalnya tiada henti.

Sesampai di rumah ternyata pintu terkunci , istri dan keempat anaknya tidak ada.Kemanakah mereka ? Mungkin mengadukan perihal kecerobohannya kepada orang tuanya. Bondan bergegas pergi ke rumah mertuanya. Namun mereka tidak ada. Dicarinya ke rumah adik ipar perempuannya di CPS I Kotaraja . Juga tidak ada.

Kabur ? wah, kalau benar malu besar. Masyarakat akan mencemooh. Masyarakat akan mengatakan bahwa dia tidak becus mengurus rumah tangga. Dia lelaki lemah. Menagtasi masalah kecil saja tidak mampu. Pikirannya makin pusing. Pusiing!

Dengan pasrah dia dan penuh tawakal dia kembali ke rumah.dalam hati dia berdoa semoga Allah memberinya jalan keluar dari kemelut intern ini.

Ketika baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah , berhentilah dua buah becak. Penumpangnya adalah istri dan keempat anaknya. Becak yang satunya penuh dengan muatan barang.

“ Dari mana saja kamu.Ma ? Aku lelah mencarimu ke sana-sini.”

“ Pasar.”

“ Dari mana kamu memperoleh uang berbelanja sebanyak ini ? “

“ Uang gaji ,Pa ! “

“ Katamu aku menyerahkan amplop kosong doang.”

“ Begini , Pa. Ketika mau berangkat ke rumah teman Papa. Papa kan ganti celana. Di dalam saku celana bagian depan itu Mama temukan uang gaji kita berbungkus amplop, “ kata istri Bondan menjelaskan.

“ Astagfirullah, aku memang pikun. Tadi aku memang membawa tiga amplop. Satu ampolop berisi uang gaji aku simpan di saku bagian depan. Yang lainnya di saku bagian belakang.”

“ Papa, mari kita bersujud syukur kepada Allah.”

ISTRI

Cerpen oleh Fahrurraji Asmuni

Sudah menjadi kebiasaan lelaki itu bangun setiap malam. Setelah salat tahajud duduk di kursi kayu yang sudah lapuk menghadapi meja kayu yang rumpang. Mengalirlah kata-kata di atas lembaran kertas bergaris. Terbentuklah barisan kalimat yang rapi dan indah. Terciptalah sebuah cerpen.

Kali ini tidak seperti biasanya. Sudah berjam-jam ia duduk , namun tak satu kalimat pun jatuh di lembar kertas. Ia gelisah. Napas terasa sesak. Padahal tadi siang berseleweran inspirasi di benaknya. Mengapa malam ini inspirasi itu tidak muncul ? Ia tidak tahu jawabannya.

Dicobanya menerawang terbang ke angkasa raya ke mudian menyelam ke laut masa lalu.Yang ditemukannya hanya sederet kenangan buruk. Ia jadi ngeri dan takut. Ngeri , peristiwa masa lalu itu adalah kisah pembantaian kehidupannya. Takut kalau terulang lagi pada masa mendatang. Ini tidak perlu diungkap , pikirnya. Yang lalu biarlah berlalu.

Jam dinding berdenting empat kali. Kantuk tiba-tiba datang menyapa. Ia berusaha untuk menahannya. Tetapi sia-sia. Kantuk itu semakin nekad menyerang matanya. Tertidurlah lelaki itu di atas kursinya.

“ Kakak! Kakak! Bangun! Waktu shalat subuh sudah tiba. Cepat bangun nanti telat shalat subuhnya, “ sapa sang istri ketika melihat suaminya tertidur pulas memeluk meja.

Lelaki itu tetap lelap dalam dengkurnya. Ia sedang asyik dibuai mimpi. Entap mimpi indah atau mimpi buruk. Tidak ada yang tahu.

“Kakak, kakak ! Bangun ,“ kata si istri sambil menggoyang-goyang tubuh suaminya. “Cepat kak shalat nanti kesiangan.”

“ Plak-plak ! “ Tangan si lelaki itu mendarat di pipi istrinya. Saking kerasnya pukulan itu si istri kehilangan keseimbangan sehingga terjerambab. Dengan sabar si istri bangkit. Ia berusaha membangunkan suaminya yang terlelap. Rasa sakit di pipi dan di punggung dibiarkannya. Ia tahu suaminya tidak sengaja.

“ Sarah mengapa wajahmu biru, “ kata lelaki itu setelah terjaga dari tidurnya.

“ Ah , tidak apa Kak , penglihatan kakak saja.”

“ Justru Kakak melihatlah jadi tahu bahwa pipi adik biru-biru. Jawab dik, mengapa wajahmu sampai begitu.”

“ Sudahlah nanti adik ceritakan. Sekarang kakak kerjakan dulu perintah Allah. Air wudu sudah adik sediakan.”

Lelaki itu tak habis pikir mengapa malam-malam begini istrinya membiru wajahnya. Ada penjahat atau maling-kah yang menyelinap masuk ketika ia tidur tadi. Tetapi kalau ada penjahat pasti ribut.Pasti ada teriakan-teriakan. Pasti anak-anak terbangun semua karena ketakutan. Pasti ada jandela atau pintu yang bobol. Ini tenang saja. Mengapa ya ?

“ Kakak kok berwudunya lama amat. Cepat kan sudah setengah enam.”

“ Ya, ya kalau mau dulu shalatnya silakan.”

“ Adik tidak mau shalat sendirian. Kebiasaan kita kan shalat berjamaah.”

Setelah selesai shalat berjamaah si istri menceritakan mengapa wajahnya itu membiru. Betapa terkejutnya si suami bahwa semua itu karena perbuatannya.

“ Mengapa kakak tega memukul adik padahal adik bermaksud baik , membangunkan kakak agar tidak telat mengerjakan shalat subuh, “ istrinya balik bertanya.

“ Begini dik, kakak bermimpi.Dalam mimpi itu kakak dan adik sedang berjalan-jalan di sebuah taman untuk menikmati keindahan taman yang penuh beraneka bunga.Sedang asyik demikian , tiba-tiba dating seorang laki-laki menggoda adik dengan kata-kata porno. Kakak marah lalu kakak tinju orang itu dua kali.”

“Eh,ternyata saya yang kena tinju .” sela istrinya.

“ Maaf ya dik ,kakak tidak sengaja.”

“ Sudah adik maafkan sedari tadi ,” sahut istrinya.” Lain kali kalau mengantuk cepat-cepat pergi ke tempat tidur. Tidur di ranjang lebih enak daripada tidur di kursi .”

“ Insya Allah.”

Biasanya ia memang selalu tidur di ranjang bersama istrinya. Tetapi kali ini tidur ditemani kertas-kertas . Malam ini rupanya lagi apes. Mau membuat cerpen tetapi pikiran buntu. Tidak ada ide yang dapat dikembangkan. Saking lelahnya mencari inspirasi ia pun terbuai mimpi.

“ Kakak beras dan rempah-rempah dapur habis, “ kata si istri setelah memeriksa padaringan tempat menyimpan beras dan mengontrol kelengkapan dapur.

“ Kalau habis ya beli.”

“ Uangnya mana ? Kan sudah dua hari kakak tidak memberi uang belanja.”

“ Ini ada uang lima puluh ribu rupiah.”

“ Eh, dari mana kakak dapat uang. Kemarin kakak bilang tidak punya uang ,” selidik istrinya.

“Uang ini honor dua buah cerpen kakak yang dimuat di koran daerah.”

“ Alhamdulillah , kita beli beras dan rempah-rempah dapur hari ini dengan kontan.”

“ Dik, kalau berbelanja ke warung jangan dihabiskan uangnya sisakan untuk besok.”

“Ya , Kak.”

Sebenarnya ia tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Ia dan istrinya sarjana lulusan FKIP Unlam. Keduanya sudah sering kali mengikuti tes CPNS namun belum berhasil. Rupanya Allah belum mengizinkan keduanya menjadi pegawai negeri.

Sebagai guru honor pada sebuah SMA penghasilan suami istri itu jauh dari cukup. Bayangkan honor yang mereka terima hanya enam ratus ribu rupiah untuk menghidupi dua anak kembar yang baru berumur dua tahun. Bayar sewa rumah Rp.300.000,oo perbulan . Bayar leding dan listrik Rp. 150.000,oo/ bulan. Belum lagi beli beras dan biaya lainnya.

Untuk meringankan keluarga yang Senin-Kemis si suami mencoba menulis cerpen. Mualnya gagal. Alhamdulillah , berkat kegigihan dan ketidakputusasaannya cerpen yang dikirimnya kini selalu dimuat.

***

“ Kak tidak menulis cerpen ya malam ini,” kata istrinya selesai shalat tahajud.

“ Malas,” sahut suami.

“ Jangan malas. Cerpenis sejati tidak mengenal lelah dan malas. Menulis terus menulis. Tiada hari tanpa menulis.”

“ Maunya begitu. Tapi terkadang ide untuk menulis tak kunjung datang sehingga penyakit malasku kambuh.”

“ Adik ada ide bagus.”

Mana coba kemukakan.”

“ Begini seorang gadis usia delapan beals tahun, kelas XII SMA mau bunuh diri dengan meminum baygon karena tidak mampu membayar uang iuran bulanan sekolah yang terus naik. Tetapi ia diselamatkan oleh pacarnya yang kebetulan dating berkunjung ke rumahnya. Sang pacar mengingatkan bahwa bunuh diri itu dosa besar. Neraka imbalannya. Bagaimanapun beratnya masalah hidup mesti dihadapi dengan sabar dan tawakal.

“ Itu dik bukan ide yang baru.”

“ Tapi bagus, “ sela istrinya , “ belum ada cerpenis yang mengangkatnya kepermukaan.”

“ Kakak ogah menggarap cerpen yang berbau remaja. Kakak lebih senang menggarap masalah kehidupan rumah tangga.”

“ Sekali-sekali kan tidak apa. Cerpen ini nanti kita kirim ke majalah Annida atau Serambi Ummah.”

***

Hamdi sungguh beruntung mendapat istri yang sabar , penuh pengertian dan mau menerima kenyataan, yaitu Sarah. Padahal ia anak orang kaya di kotanya. Ayahnya seorang pemilik tambang batubara. Namun istrinya tidak mau mengemis kepada orang tuanya. Ia tidak pernah mengadukan keadaan keluarganya kepada orang tuanya. Dalam rumah tangga susah – senang harus dihadapi dengan lapang dada. Tidak perlu mengeluh dan mengadu kepada orang lain.Menurut Sarah berani menghadapi segala hempasan gelombang hidup adalah pejuang sejati.Tahan terhadap segala kesusahan itu hidup yang sebenarnya.

“ Dik ,mengapa kamu rela bersuami saya yang miskin. Mengais rezeki lewat menulis cerpen,” kata Hamdi pada malam pertama dulu.

“ Pertama saya mencintai kakak.Kedua saya belajar mengahdapi hidup.”

“ Adik kan biasa hidup bergelimang harta. Apa saja yang dikehendaki terkabul.”

“ Betul Kak, hidup bergelimang harta sudah adik rasakan sejak kecil.Tetapi adik tidak pernah merasakan kebahagiaan. Adik tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua. Orang tua adik selalu sibuk siang-malam dengan urusan batu baranya. Untung di bangku kuliah adik bertemu kakak. Kakak telah membimbing adik sehingga adik tidak terjerumus ke lembah narkoba. Hal inilah yang membuat adik rela berdampingan hidup dengan kakak.”

***

Suatu hari ketika Hamdi pulang dari mengikuti temu sastra 1 La Vindri Kandangan dilihatnya mata istrinya sembab sehabis menangis.

“Apa yang telah terjadi, dik?” Tanya hamdi.

“ Tidak terjadi apa-apa. Adik hanya rindu dengan kakak, “ sahut istrinya.

Ditatapnya istrinya dalam-dalam. Nalurinya mengatakan lain. Biasanya istrinya bagaimanapun rindunya tidak pernah matanya sesembab itu.

“Katakan sejujurnya dik? Kakak tidak senang kalau adik berbohong”.

“Tadi pagi ayah dating ke rumah kita”.

“Apa kata beliau?”

“Beliau mengajak adik ikut ke Banjarmasin. Beliau tidak tega melihat anaknya hidup melarat. Tinggal di rumah sewa yang lapuk,” cerita istrinya.

“Lalu?”

“Adik tolak kak. Adik lebih senang tinggal di gubuk bersama-sama dari pada ikut papa”.

“Mendengar jawaban adik itu papa lalu memukuli adik hingga babak belur. Lihat kak punggung adik”.

“Terus”.

“Papa pulang tanpa pamit”.

Sebenarnya Hamdi geram mendengar cerita istrinya itu. Seandainya bukan mertua yang memukuli istrinya sudah tentu akan diremuk-redam tubuhnya. Dia menyadari bahwa mertuanya masih marah kepadanya. Karena dia tidak ada, maka pelampiasannya ditumpahkan kepada istrinya. Hamdi menyadari bahwa mertuanya marah disebabkan dia membawa lari Sarah ke Amuntai lalu dinikahinya tanpa restu dari orangtua kedua belah pihak.

“Sabar ya dik. Bagaimanapun beliau orangtua kita. Lagi pula kita sudah sama-sama tahu bahwa kelakuan ayah memang suka main kasar tak peduli pada anaknya sendiri,” kata Hamdi menghibur.

“Sabar ya sabar. Tetapi mengapa ayah begitu dendam kepada kita?”

“Ayah tidak dendam hanya kesal karena kemauannya tidak terkabul. Dan tindakan ayah itu tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap beliau khilaf habis perkara”.

“Oke lah kalau begitu,” sahut Sarah.

Sejak dipukuli ayahnya, Sarah sering sakit. Berkali-kali suaminya mengajak ke dokter untuk berobat tetapi dengan halus ditolaknya. Setelah tiga bulan menderita sakit, Sarah pun menghadap Yang Maha dari segala yang maha. Hamdi merasa kehilangan sesuatu yang berharga dan yang paling dicintai.

Kini tinggallah Hamdi beserta kedua anak kembarnya menghadapi gelombang hidup berperahu kertas berdayung pena. Ada luka menyayat hati setiap kali Hamdi menatap foto Sarah yang terpampang di dinding.

PERTEMUAN

Cerpen oleh Fahrurraji Asmuni

Kabut pagi memeluk terminal Pal 6. Lampu-lampu yang bergelantungan di warung-warung tertunduk malu. Toko-toko sekeliling terminal itu diam membisu. Sunyi. Tak ada terdengar celoteh para pemabuk. Tak bisik-bisik penjaja cinta. Suara azan subuh pun telah lenyap ditelan waktu. Jam di HP-ku menunjukkan pukul 05.30.

Saat itulah bus jurusan Samarinda – Banjarmasin merayap di dada terminal yang lagi mendengkur. Para tukang ojek yang sejak tengah malam bertengger di kenderaan masing-masing bergerak lincah menyambangi bus yang kutumpangi. Mereka mencicit-cicit menawarkan jasa.

Aku yang disandra bus Samarinda selama dalam perjalanan segera keluar. Meski kantuk masih menggerayangi mata.Sementara lelah terus bertahta. Kuhirup udara pagi.Segaaar.Aku telah merdeka, pikirku. Karena taksi kota belum menampakkan diri , aku melangkah menuju sarang ojek.

“ Kayu Tangi , belakang STIE,” kataku terus naik lalu duduk di atas Supra X warna kebiruan.

“Baik,Mas !” kata tukang ojek yang kutumpangi.Kemudian meluncurlah kenderaan tersebut dengan kencang menembus kabut pagi. Jalanan masih lengang.

Selama membonceng ojek itu aku tidak bicara sepatah kata pun. Aku kedinginan. Apalagi aku tidak memakai jaket. Yang kupakai kemeja putih lengan pendek. Berbeda dengan si tukang ojek. Dia berjaket hitam tebal.Helm standar menutup seluruh kepala dan wajahnya. Kemungkinan dia tidak kedinginan seperti aku yang duduk di belakangnya.Dia juga diam. Kami larut dalam pikiran masing-masing.

***

Di atas ojek pikiranku mengembara ke masa dua puluh tahunan yang lalu. Tepatnya Juli 2004.Ketika itu aku dan Dani bersama-sama pergi ke Banjarmasin, mengadu peruntungan di keramaian kota provinsi. Aku kuliah di FKIP Unlam. Dia mengais rezeki menjadi tukang ojek.

Anehnya, meskipun sama-sama tinggal ibukota provinsi. Kami tidak pernah lagi bertemu. Bahkan tidak tahu alamat masing-masing .Kalau pulang kampung selalu pakai ilmu selisih.Artinya, jika dia berada di amuntai ,aku sudah balik ke Banjarmasin. Kesempatan lain, aku pulang kampung ternyata dia tak kunjung mudik.

Tentang alamatnya pernah kutanyakan kepada orang tuanya. Tetapi beliau tidak tahu persis. Kabarnya dia tinggal di Kalayan. Tidak jelas Kalayan A atau B.

Aku penasaran. Kutelusuri Kalayan A dan B . Kumasuki gang demi gang. Kutanyakan

kepada setiap penduduk yang kutemui.Kenalkah dengan orang yang bernama Dani ,lengkapnya Hamdani ? Asal Amuntai. Ciri-ciri berbadan gemuk , tinggi , rambut keriting , mata sipit , hidung mancung dan ada bekas luka sebesar ibu jari di pipi kanan. Jawaban yang kuterima adalah tidak kenal.

Berhari-hari aku mencari Dani tetapi tidak pernah kutemukan.Pernah ada informasi bahwa orang yang kucari itu tinggal di Kalayan A gang Setuju dekat Sanawiyah Siti Maryam. Setelah kudatangi ke sana ternyata sudah lama pindah. Menurut informasi pindahnya ke Pakapuran dekat SMP Muhammadiyah 4. Kutelusuri ke sana ternyata baru pindah dua ahri yang lalu.Pindahnya entah ke mana. Aku jadi semakin rindu kepadanya. Aku ingin bertemu dengannya walau sejenak.

Dulu , ketika di kampung Dani teman akrabku. Setiap hari berangkat ke sekolah berbarengan. Duduk selalu sebangku , baik waktu di SD maupun di SMP. Bermain pun senantiasa bersama-sama , seperti berenang di sungai , bermain kelereng , petak umpat , dan memanjat pohon.

Dia pernah terjatuh dari pohon belimbing di depan rumahku karena tempat dia bertengger patah. Salah satu ranting dari dahan itu menusuk pipi kanannya. Karena itulah, sampai sekarang di pipi kanannya melintang codet sebesar ibu jari.

***

“Masuk gang, ya Mas,” celetuk tukang ojek membuyarkan lamunanku.

“Tidak usah, di muka saja.”

Setelah sampai aku turun dari kendaraan. Kuserahkan selembar uang puluhan ribu. Biasanya, uang kembaliannya dua ribu rupiah.

“ Dua puluh ribu, Mas!” cecarnya

“Hah. Jangan bercanda.”

“Tidak. Ini serius.”

“Masak jarak sedekat ini ongkosnya dua puluh ribu. Aku biasanya naik ojek dari terminal Pal 6 ke Kayu Tangi ini hanya delapan ribu rupiah. Jadi, sepuluh ribu itu sudah banyak.”

Suasana sekitar STIE masih sepi. Hanya sesekali terdengar derum motor lewat. Wiridan para jamaah di mushala baru berhenti. Penghuni gang masih nyenyak di bawah selimut tebal. Hanya aku dan tukang ojek yang ada di mulut gang itu.

“Dua puluh itu sudah biasa.”

“Jangan bohong. Aku setiap Kamis ke Kayu Tangi ini. Terkadang naik taksi. Tidak jarang pulang nampang ojek. Aku tahu persis berapa ongkos taksi atau ojek.”

“Aku biasanya,” ujar tukang ojek tersebut tetap ngotot, “mengantar penumpang Samarinda ke sini ongkosnya segitu!”

“Aku kan dari Amuntai, bukan Samarinda. Kebetulan saja menumpang bus jurusan Samarinda – Banjarmasin. Dan ongkosnya hanya Rp 15 ribu,” tukasku menjelaskan.

“Pokoknya kamu bayar dua puluh!” hardiknya.

Uang yang kuletakkan di kendaraan itu diambil dan dilemparkannya kepadaku. Aku terkejut. Aku tidak menyangka dia berbuat demikian. Dan baru sekali ini aku menjumpai tukang ojek yang kasar begini.

“Eh, jangan begitu,” kataku sambil memungut uang tersebut lalu menyerahkan lagi kepadanya. “Ini rezekimu, masak ditolak. Syukurilah…”

“Ya, ini rezekiku. Dan ini rezekimu,” tukasnya sembari malayangkan tinju ke mukaku. Aku tidak sempat mengelak. Darah pun muncrat dari pelipisku.

“Sabar. Sabar kawan. Aku kabulkan kehendakmu.”

“Sudah terlambat,” cecarnya terus menjotosko. Tetapi kali ini meleset karena aku menghindar. Dia semakin geram. Dan terus menyerangku bertubi-tubi dengan pukulan. Aku terpaksa ambil langkah seribu. Lari menghindar menuju rumahku.

Dia mengejarku lebih kencang. Dari belakang rambutku berhasil dia jambak. Karena sakit, dengan reflek aku berbalik. Buuk. Tinjuku kena perutnya. Dia rebah tertelantang. Dengan cepat kutindih badannya. Dan kulihat dia tak berdaya.

Aku ingin melihat wajah si tukang ojek yang keterlaluan itu. Kubuka helm yang sejak tadi menutup kepala dan wajahnya. Terlihat olehku bekas luka sebesar ibu jari di pipi kanannya. Ya Allah, dia temanku yang kucari selama ini. Dia adalah Dani. Seketika itu aku jadi lemas.

Merasa tindihanku di badannya melemah, dia meronta sekuatnya. Aku pun terguling ke samping. Dengan leluasa tubuhku diinjiknya. Keperihan demi keperihan kurasakan menjalari bagian tubuhku yang terluka.

“Dani, bunuhlah aku. Aku rela mati di tanganmu, sahabatku sendiri yang selama ini kucari-cari,” rintihku.

“Siapa kau?!” Dia berhenti menghantamku. Rupanya dia tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah jauh berubah dalam kurun waktu duapuluh tahun ini.

“Oh, maafkan aku. Tadi aku begitu kesetanan.”

Kami pun berpelukan. Ada gemuruh rasa mengguncang dada. Perih luka jadi tak terasa. Riuh-rendah suara orang-orang berdatangan menyaksikan perkelahian kami, tidaklah terdengar. Kami tenggelam dalam keharuan.

(SMAN 1 Amuntai)

Tidak ada komentar: