Sabtu, 26 September 2009

Maulid Barzanji

MAULID BARZANJI
Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata). Namun, dalam
perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
SAW *(INIS,
1994). Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
Adapun Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan
Maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali atau merevitalisasi
Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan
semangat *jihad *(perjuangan) dan *ittihad *(persatuan) tentara Islam
melawan *crusaders *(Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan
keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah
penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi.
Adapun historisitas al-Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan
puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M.
Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai
yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan.
Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan
*Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan
Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada
upacara kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan
upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah
menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur
tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
*Inovasi Baru
*Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi
sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan.
Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai
falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan
itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah
al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam
upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati,
pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana
Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran.
Di Kalsel albarzanji sekarang jarang dibacakan.
Ditulis ulang oleh_Awiiier,
________________________________________