Sabtu, 23 Februari 2013

                                              BAGAIMANA SAYA MENULIS CERPEN

                                                          Oleh  Fahrurraji Asmuni

          Seperti kita ketahui bersama bahwa membuat cerpen sama dengan mendirikan sebuah rumah. Ada bagian-bagian yang dibutuhkan seperti dasar/lantai,dinding, atap,halaman muka dan belakang, ada kamar,ada ruang tamu,ada pintu,dan ada jandelanya. Begitu dengan cerpen  ada tema, alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang, dan  gaya  bahasa. Inilah unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen sehingga bisa berdiri kokoh di tengah-tengah pembaca.
          Untuk dapat membuat cerpen dengan baik saya membuat tiga tahapan,yaitu perencanaan, pengembangan,dan revisi.
1. Perencanaan
    Dalam perencanaan ini saya menggunakan rumus 5 W + 1 H
n  What = apa
n  Who = siapa
n  Why  = mengapa
n  When = kapan
n  Where = di mana
n  How = bagaimana
Apa yang terjadi / dilakukan ( ingin bertemu dengan teman)
Siapa nama teman tersebut (                                )
Di mana pertemuan  dilaksanakan ( di  Banjarmasin)
Kapan  terjadinya pertemuan itu  (siang   atau malam)
Mengapa  ingin bertemu (karena rasa rindu,setelah puluhan tahun  berpisah dengan teman)
Bagaimana usaha yang dilakukan   (mencari alamat teman tersebut), bagaimana hasilnya (mengharukan)
Perencanaan ini dibuat supaya  mudah dalam penggarapan alur cerita.
2. Pengembangan
    Dibuatlah paragraf pembuka sebagai berikut :
    Kabut pagi memeluk terminal Pal 6. Lampu-lampu yang bergelantungan di warung-warung tertunduk malu. Toko-toko sekeliling terminal itu diam membisu. Sunyi. Tak ada terdengar celoteh para pemabuk. Tak bisik-bisik penjaja cinta. Suara azan subuh pun telah lenyap ditelan waktu. Jam di HP-ku menunjukkan pukul 05.30.
Saat itulah bus jurusan Samarinda – Banjarmasin merayap di dada terminal yang lagi mendengkur. Para tukang ojek yang sejak tengah malam bertengger di kenderaan masing-masing bergerak lincah menyambangi bus yang kutumpangi. Mereka mencicit-cicit menawarkan jasa.
Dari  sini  imajinasi terus mengalir membentuk alur, menguraikan tingkah laku dan jalan pikiran si tokoh . Digambarkan kesabaran si  tokoh  mencari teman lamanya dari kampung kelayan  sampai ke Kayu Tangi. Cerita berakhir setelah bertemu kedua teman itu bertemu.
Dalam pengembangan cerita saya tidak membuat kerangka,saya biarkan mengalir seperti air dari hulu ke hilir.

3.  Revisi
      Setelah cerita selesai dibuat diendapkan dulu satu atau dua hari. Hari berikutnya baru dibaca dengan saksama, apakah alurnya, tokoh dan penokohannya, atau bahasanya perlu diperbaiki. Pada tahap ini diadakan pengeditan dan penyempurnaan naskah cerita. Cerpen “Pertemuan” (lihat Ketika Api Bicara) mulanya  biasa, karena dirasa kurang menarik lalu diubah sebagai berikut :
“Masuk gang, ya Mas,” celetuk tukang ojek membuyarkan lamunanku.
“Tidak usah, di muka saja.”
Setelah sampai aku turun dari kendaraan. Kuserahkan selembar uang puluhan ribu. Biasanya, uang kembaliannya dua ribu rupiah.
“ Dua puluh ribu, Mas!” cecarnya
“Hah. Jangan bercanda.”
“Tidak. Ini serius.”
“Masak jarak sedekat ini ongkosnya dua puluh ribu. Aku biasanya naik ojek dari terminal Pal 6 ke Kayu Tangi ini hanya delapan ribu rupiah. Jadi, sepuluh ribu itu sudah banyak.”
Suasana sekitar STIE masih sepi. Hanya sesekali terdengar deru motor lewat.Wiridan para jamaah di mushala baru berhenti. Penghuni gang masih nyenyak di bawah selimut tebal. Hanya aku dan tukang ojek yang ada di mulut gang itu.
“Dua puluh itu sudah biasa.”
“Jangan bohong. Aku setiap Kamis ke Kayu Tangi ini. Terkadang naik taksi. Tidak jarang pulang nampang ojek. Aku tahu persis berapa ongkos taksi atau ojek.”
“Aku biasanya,” ujar tukang ojek tersebut tetap ngotot, “mengantar penumpang Samarinda ke sini ongkosnya segitu!”
“Aku kan dari Amuntai, bukan Samarinda. Kebetulan saja menumpang bus jurusan Samarinda– Banjarmasin. Dan ongkosnya hanya Rp 15 ribu,” tukasku menjelaskan.
“Pokoknya kamu bayar dua puluh!” hardiknya.
Uang yang kuletakkan di kendaraan itu diambil dan dilemparkannya kepadaku. Aku terkejut. Aku tidak menyangka dia berbuat demikian. Dan baru sekali ini aku menjumpai tukang ojek yang kasar begini.
“Eh, jangan begitu,” kataku sambil memungut uang tersebut lalu menyerahkan lagi kepadanya. “Ini rezekimu, masak ditolak. Syukurilah…”
“Ya, ini rezekiku. Dan ini rezekimu,” tukasnya sembari malayangkan tinju ke mukaku. Aku tidak sempat mengelak. Darah pun muncrat dari pelipisku.
“Sabar. Sabar kawan. Aku kabulkan kehendakmu.”
“Sudah terlambat,” cecarnya terus menjotosku. Tetapi kali ini meleset karena aku menghindar. Dia semakin geram. Dan terus menyerangku bertubi-tubi dengan pukulan. Aku terpaksa ambil langkah seribu. Lari menghindar menuju rumahku.
Dia mengejarku lebih kencang. Dari belakang rambutku berhasil dia jambak. Karena sakit, dengan reflek aku berbalik. Buuk! Tinjuku kena perutnya. Dia rebah tertelantang. Dengan cepat kutindih badannya. Dan kulihat dia tak berdaya.
Aku ingin melihat wajah si tukang ojek yang keterlaluan itu. Kubuka helm yang sejak tadi menutup kepala dan wajahnya. Terlihat olehku bekas luka sebesar ibu jari di pipi kanannya. Ya Allah, dia temanku yang kucari selama ini. Dia adalah Dani. Seketika itu aku jadi lemas.
Merasa tindihanku di badannya melemah, dia meronta sekuatnya. Aku pun terguling ke samping. Dengan leluasa tubuhku diinjiknya. Keperihan demi keperihan kurasakan menjalari bagian tubuhku yang terluka.
“Dani, bunuhlah aku. Aku rela mati di tanganmu, sahabatku sendiri yang selama ini kucari-cari,” rintihku.
“Siapa kau?!” Dia berhenti menghantamku. Rupanya dia tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah jauh berubah dalam kurun waktu duapuluh tahun ini.
“Oh, maafkan aku. Tadi aku begitu kesetanan.”
Kami pun berpelukan. Ada gemuruh rasa mengguncang dada. Perih luka jadi tak terasa. Riuh-rendah suara orang-orang berdatangan menyaksikan perkelahian kami, tidaklah terdengar. Kami tenggelam dalam keharuan.*



Description: https://ssl.gstatic.com/ui/v1/icons/mail/no_photo.png
Klik di sini untuk Balas atau Teruskan




Tidak ada komentar: