Kamis, 27 Juni 2013

ESAI SASTRA

Oleh Fahrurraji Asmuni

Nama Arsyad Indradi tidak asing lagi bagi kita. Beliau diberi gelar Penyair Gila. Beliau menerima dengan senang hati gelar itu. Malah beliau bangga dengan gelar tersebut. Adakah kita berpikir sebelumnya ada apa dengan diri beliau. Mengapa beliau mau menerima dengan gelar super terhormat itu. Apakah beliau memang tidak waras ? Beliau sangat waras, sehat wakafiat lahir dan batin.

Penulis teringat akan ucapan almarhum KH Janawi, guru penulis ketika belajar ilmu tasawuf tahun 1990 bahwa para ahli sufi itu suka berbuat yang aneh-aneh, selalu dekat dengan Allah, lidah dan hati selalu berzikir kepada-Nya, muraqabah dan mahabbah selalu terjaga, berpakaian seadanya, suka memanjangkan janggut dan rambut, suka membuat syair dan suka diberi gelar “orang gila”. Malah ada yang memproklamasikan bahwa mereka orang gila.

Tokoh sufi masa lalu yang senang menyandang gelar gila antara lain : Hayyan bin Ali Al-Tunisi, Alwalid bin Abdurrahman, Abu Hasan Al-Ansi, Abu Yzid, Qiddis Al-Bishri, Sahal. Dengan menyandang gelar “orang gila” para ahli sufi bebas bertindak karena terlepas dari perhatian orang banyak.Arsyad Indradi, juga memiliki sifat dan sikap seperti pata tokoh di atas, meskipun hanya sebagian.

Untuk menguatkan menguatkan dugaan bahwa beliau seorang sufi mari kita buka buku “ Narasi Musafir Gila “ (2006). Frasa “Narasi Musafir Gila” dalam ilmu tasawuf mempunyai arti Kisah ( seorang) Pengembara mencari Kekasih sejati. Atau Kisah Seorang Suluk mencari Sang Khalik di bawah bimbingan Sang Mursyid. Sang Mursyid adalah pembimbing seseorang melalui jarak jauh, bisa lewat mimpi, lewat inspirasi dan lewat mata hati. Istilah lain bimbingan rohani. Ilmu yang diperoleh dari bimbingan tersebuat disebut ilmu laduni.

Arsyad Indradi nampaknya pernah mengalamai bimbingan seperti itu lewat inspirasi atau perenungan-perenungan. Kubelah ayat-ayat batumu di kulminasi bukit/Yang terhampar di sajadahku/kujatuhkan di tebingtebing lautmu/Cuma gemuruh ombak dalam takbirku// (hal.1).

Inilah awal-awal perjalanan mencari dan memahami tentang ketuhanan (suluk) seorang hamba Allah, Arsyad Indradi. Arsyad Indradi sebagai pengembara di dunia ini bersama beribu orang lainnya merasa salah langkah. Inilah pengakuannya : Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah/Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu/ Dan bersafsaf di bumi oasismu yang letih/.

Menyadari ketersesatannya, Arsyad Indradi, kembali ke jalan yang benar dan tidak akan melupakan Sang Khalik selamanya. Kuseru namamu tak hentihenti/Di ruas jarijari tanganku/ Yang gemetar dan berdarah/Tumpahlah semesta langit/Di mata anak Adam yang sujud di kakimu// (Narasi Ayat Batu, hal.1).

Untuk mencapai tingkat Ilahiah yang tinggi seorang sufi atau calon sufi mesti melakukan tiga langkah perbuatan yaitu takhalli, tahalli, dan yajalli. Takhalli ialah membuang segala keburukan-keburukan yang pernah dilakukan pada masa lalu atau pun yang akan datang. Setelah bersih semuanya baru jiwa diisi dengan kebaikan-kebaikan. Dengan kebersihan jiwa si sufi akan merasakan tajalli/keberadaan Allah di sisinya bahkan merasakan dalam jiwanya.

Arsyad Indradi telah melakukan takhalii seperti katanya : Kulepas burungburung/ Keawanawan serbuk masa silam/Sebab pohon yang kutanam/Menanggalkan dedaunan/Helaidemihelai namamu/rebah ke bumi/Sepanjang khatulistiwa/Matahari berdarah/Menetes di bulubulunya/Yang putih/Maka jangan kau cari lagi/ Siapa yang luka di antara kita//Jangan kau tanya lagi/Benih dalam rahimmu/Yang terbelah/Oleh bibir-bibir kita sendiri/Dari peradaban yang hilang/Terbanglah membidik masa masa depan/Di hatinurani yang terbakar/Gumpalan rindu dendam/ Dan lepas dari ikatan// (Narasi Burung, hal.5).

Karena sudah menghilang dosa-dosa masa lalu dengan bertobat, Arsyad melakukan langkah tahalli yaitu dengan mengisi setiap detik hidupnya dengan selalu berzikir. Kujahit gorden jendela dengan zikir/kujahit kelambu dengan zikir/kujahit bantalguling dengan zikir/kujahit seperai dengan zikir/kujahit baju dengan zikir/kujahit taplak dengan zikir// (Jahitan zikir,hal.86).

Zikir yang diamalkan Arsyad adalah zikir Tanazzul. Zikir tingkat enam dalam ilmu tasawuf yaitu Hu-Allah. Zikir ini mampu memberi kesadaran yang dalam bagi siapa yang mengamalkannya. Zikir Tanazzul yang diamalkan jelas  terasa pada puisi “Darah” yaitu : Darah hidupku Hu-Allah/Darah matiku Hu-Allah/Darah hidupmatiku Hu-Allah/Darah raungku Hu-Allah/Darah cakarku Hu-Allah/Darah laparku Hu-Alla/Darah hausku Hu-Allah/Darah ngiluku Hu-Allah/Darah rinduku Hu-Allah// (hal.38). Zikir seperti ini juga ditemukan pada puisi “Mendulang Cahaya Bulan”, halaman 63 dan “Dosa” halaman 71.

Karena seluruh jiwanya diserahkan kepada Sang Kahlik, Arsyad Indradi merasa menyatu dengan Sang Khalik tersebut. Dia begitu mesra dengan tuhannya bagaikan warna putih kain yang menyatu dengan kainnya. Dalam puisi  Darah, halaman 38, diungkapkannya : Hu-Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/di kunci rahasia Alifmu Alif Alif//.

Sebenarnya masih banyak puisi dalam Narasi Musafir Gila ini yang membuktikan bahwa Arsyad Indradi seorang sufi. Namun apa yang penulis paparkan di atas sudah cukup kuat untuk menyatakan bahwa Arsyad Indradi seorang sufi, maka puisi-puisi yang lain dalam buku ini tidak perlu lagi kita ungkap.***

(Amuntai, 22 Januari 2013 ).

Dimuat di : Media Kalimantan, 27 Februari 2013

Rabu, 26 Juni 2013

KISAH BANJAR


MACAN PANJADIAN

 Pada zaman  ada lima orang  5 bersaudara, masing-masing bernama, Lamboi, Adan, Akhmad, Selamat, dan yang bungsu Isbat. Mereka pergi kesebuah hutan mencari rotan. Hutan tersebut terletak di gunung Gumpa yang banyak rotannya dan terkenal angker. Waktu mereka asyik bekerja hujan turun rintik-rintik, padahal hari dalam keadaan panas, kebetulan hari itu hari jumat. Mereka pun beristirahat di bawah pohon rindang. Limboi berkata pada adik-adiknya : “ Seandainya ada perempuan cantik menemani kita makan-makan alangkah senangnya”. Tiba-tiba angin berembus dan seiring dengan itu terlihat oleh Isbat lima orang perempuan cantik-cantik dari balik semak-semak. Kakak-kakaknya seakan-akan tak percaya perkataan adiknya. Benar ada lima perempuan mendekati mereka sambil membawa nasi ketan. Tampaknya perempuan-perempuan itu sudah tahu pilihannya masing-masing. Mereka pun bergembira ria sambil memakani nasi ketan. Di antara mereka itu hanya Isbat tak ikut makan. Ia selalu di bujuk rayu oleh perempuan bungsu yang paling cantik. Karena takut “ kepuhunan” ( mendapat bahaya karena makanan, karena tidak mencicipi makanan ) Isbat akhirnya mencicipi nasi ketan itu dengan ujung jarinya. Isbat curiga terhadap perempuan-perempuan itu lalu menjauh. Merasa tak enak, ia menengok kebelakang, apa yang terjadi kakaknya sudah tak bernyawa lagi. Macan-macan itu sedang memakan daging dan menghirup darah kakak-kakaknya. Isbat kemudian lari, tapi kemana pun ia lari dan bersembunyi selalu saja ketahuan macan bungsu itu. Manakala Isbat tak terlihat macan itu berseru,” U...” Tiba-tiba jari Isbat yang tadi diletakkan di ketan menyahut,”U...” Dalan hati Isbat, kalau begini terus aku tak mungkin lepas dari macan itu, lalu ia mengambil mandau dan memotong jarinya. Dan perempuan macan panjadian itu kehilangan jejak Isbat. Ia meratap, sedih karena tak sempat memakan daging Isbat hanya jarinya saja. Selesai memakan jari Isbat, macan itu berkata,” Isbat, selamatlah engkau. Apabila engkau mengetahui tentang diriku engkau tahu akan namaku, maka aku akan musnah dan hancur olehmu”. Kemudian ia menyebutkan namanya Sangatak, Sangitik nama ibunya dan nama ayahnya Maharajapati. Kebetulan persembunyian Isbat tak jauh dari macan itu dan mendengar jelas kata-kata macan itu. Isbat keluar dari persembunyiannya dan membaca mantra itu. Seketika, macan panjadian itu pun hancur musnah. Sesampainya di rumah, ia ceritakan kejadian itu pada orang tuanya. Orang tuanya pun bersedih, lalu berkata, “ Makanya jangan sembarangan berkata-kata yang tak keruan di tengah hutan atau di mana pun tempat yang angker “pamali” (pantangan).********

Dikutip dari : Cerita Rakyat Daerah Kalsel, Depdikbud Prov.Kalsel,Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,1980/1981,hlm 95.
.