SASTRA LISAN BANJAR HULU REVIEW
Posted on 22 September 2013 by Ira
Title: Sastra Lisan
Banjar Hulu : Untuk Pelajar dan Umum | Author: Fahrurraji
Asmuni| Edition language: Indonesian | Publisher: Penakita
| Published: Agustus, 2012 |Status: Owned Book
(free from the author) | Date received: 19 September 2013
| My rating: 3 of 5 stars
***
Guring-guring anakku guring
Guringakan dalam ayunan
La ilaaha illaallah
Muhammadur Rasulullah…
Syair
itu sering dinyanyikan mama sampai sekarang. Saat mama menidurkan adik, saat
mama menidurkan keponakan saya di dalam ayunan. Saya sering mendengar itu. Tapi
tidak pernah bertanya darimana asalnya.Ternyata itu adalah salah satu jenis
sastra lisan Banjar Hulu. Dindang namanya.
Secara
geografis, suku Banjar di Kalimantan Selatan terbagi menjadi tiga. Banjar Hulu,
Banjar Kuala dan Banjar Pesisir. Saya termasuk tinggal di daerah Banjar Hulu.
Ngomong-ngomong,
saya baru tahu kalau ada istilah Banjar Hulu. Sebelumnya, saya hanya tahu kalau
orang-orang yang tinggal di daerah hulu sungai disebut “urang pahuluan”.
Sedangkan orang-orang yang tinggal di daerah Banjarmasin dan sekitarnya disebut
“urang banjar”.
Ya,
sastra lisan yang merupakan kebudayaan asli daerah memang hanya diturunkan
secara lisan. Dan sayangnya, kebudayaan ini sudah mulai menghilang. Bukti
kecilnya, saat saya diminta mama untuk menidurkan keponakan kecil saya, saya
malas mendendangkan syair di atas walaupun sudah hapal di luar kepala. Ditambah
fakta kalau suara saya — seperti yang sering diingatkan oleh adik saya yang
manis — seperti radio rusak.
Untunglah
ada buku ini yang melestarikan jenis-jenis sastra lisan Banjar Hulu yang mulai
terlupakan. Ada 15 jenis sastra lisan yang diulas lengkap dengan contohnya.
Mereka adalah Baahui, Baandi-andi, Bacacapatian, Balamut, Bapantun, Dindang,
Isim, Madihin, Mahalabiu, Mamanda, Mangabuwau, Manyair, Papadahan, Tutur candi,
dan Ungkapan.
***
Ooh,
baru tahu saya kalau nyanyian mama saat menidurkan anak dan cucunya di ayunan
itu namanya Dindang. Lebih lengkapnya namanya Dindang Pukung Anak.
Ayah
juga punya dendangnya sendiri. Kalau dendang Ayah syairnya seperti ini:
Burung putih tarbang ka jambu
Imbah ka jambu ka jamban pulang
Awak putih balaki guru
Imbah guru bupati pulang
ura ahui ahui ura ahui ahui
Kami
sering tertawa kalau Ayah mendendangkan lagu ini. Seakan-akan saking cantiknya
anaknya sampai-sampai disuruh bersuami dua kali ^_^
Oh
ya, baru tahu juga kalau Mahalabiu dan Mangabuwau juga termasuk ke dalam
kelompok sastra lisan. Saya kira Mahalabiu hanyalah gaya bicara orang yang
tinggal di daerah yang bernama Alabio, tidak lebih. Saya kira Mangabuwau
hanyalah istilah untuk obrolan mengenai cerita konyol yang lucu.
Ada
beberapa sastra lisan memang yang tidak pernah saya dengar lagi bahkan tidak
pernah saya tahu kalau sastra itu ada. Tapi secara tidak sadar, saya dan
teman-teman sering Mahalabiu dan Mangabuwau saat duduk-duduk di kantin kampus
dulu.
Bahkan
kami memberi nama kelompok kami “Mangabuwau”. Saking seringnya kami mengarang
cerita-cerita konyol yang lucu untuk melepas stress dari beban kuliah yang
menumpuk. Nama “Mangabuwau” sendiri diusulkan oleh salah satu teman saya yang
memang sering berkecimpung di bidang kesenian daerah. Dia bahkan sering tampil
dalam Mamanda.
Mungkin
seharusnya kami menuliskan cerita-cerita konyol yang kami buat untuk memperkaya
hasil sastra Mangabuwau yang dihasilkan oleh anak daerah sendiri walaupun
dilakukan secara tidak sadar. Tapi karena objek cerita kami biasanya adalah
para dosen *eh* mungkin sebaiknya cerita-cerita itu disimpan sendiri saja ^_^
Kesimpulannya,
meskipun ada beberapa typo, buku ini overall sangat bagus
sekali untuk referensi kebudayaan Banjar, khususnya untuk sastra lisan Banjar
Hulu. Memberitahukan kepada dunia *halah lebay* dan khususnya kepada anak
daerah sendiri bahwa Kalimantan Selatan masih punya kebudayaan yang bisa
dibanggakan. Semoga para generasi muda masih bisa meneruskan kebudayaan ini
supaya tidak hilang. Saran saya sih semoga buku ini nantinya bisa dilengkapi
dengan audio yang merekam bagaimana sastra-sastra ini dituturkan.
So, 3 dari 5 bintang
untuk buku ini. I liked it. (Dikutip dari Ira Book Lover,Blog Buku Indonesia)