Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa Review
Title: Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa | Author: Fahrurraji Asmuni, S. Pd, MM.| Edition language: Indonesian | Publisher: Hemat| Edition: 2nd Edition, April 2014 | Page: 80 pages | Status: Owned Book (given by the author) | Date received: 6 September 2013 | My rating: 3 of 5 stars
***
Sinopsis:
Di hadapan raja, Datu Abulung mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika raja membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di dinding rumah beliau dan menancapkan ke dalam daerah lingkaran yang beliau tunjkkan yaitu di belikat beliau. Beliau berpesan, “jika darah yang keluar dari tubuhku berwarna merah, maka aku dan ajaranku yang salah, tetapi jika darah yang keluar dari tubuhku nanti berwarna putih, maka aku berada dalam kebenaran. Setelah berkata demikian, Datu Abulung shalat dua raka’at, ketika beliau shalat itulah senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah beliau tunjukkan, maka memancarlah darah segar berwarna putih. Namun yang sangat aneh dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah segar Datu Abulung tertulis kalimat “Laa Ilaaha Ilallah Muhammadur Rasulullah”. Suasana jadi hening, hadirin bungkam menyaksikan kepergian Datu Abulung ke alam sejati.
Buku kedua hasil dapat gratisan dari guru saya. Cerita lengkap gratisan-nya bisa dilihat di review buku pertama di sini :D
Setelah membaca sinopsis di atas, tidak heran mengapa diantara 36 Datu yang ada di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan, Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung, “dituliskan” bukunya tersendiri.
Datu Abulung yang bernama asli Haji Abdul
Hamid hidup dari tahun 1148 – 1203 H. Di buku ini dijelaskan
bagaimana beliau mendapat gelar Syekh dan Datu, tapi tidak disebutkan
kenapa beliau dikenal dengan nama Datu Abulung.
Membaca buku ini, membuat saya menyadari
bahwa bahkan di Kalimantan Selatan pun, yang sebelumnya saya kenal
sebagai daerah yang aman dan minim konflik, ternyata pernah terjadi
peristiwa yang …. errr…. sangat sulit saya percayai pernah terjadi. Datu
Abulung ternyata pernah membuat kesal Sultan jaman dahulu sehingga sang
Sultan berusaha menyingkirkan beliau dengan berbagai cara.
Apa yang dilakukan oleh Datu Abulung sehingga membuat Sultan Banjar marah? Well, silakan baca sendiri ceritanya karena menurut saya topik ini sedikit sensitif
Buku ini memberikan kesan sebagai pembersihan nama baik bagi Syekh Abdul Hamid dan juga Syekh Muhammad Arsyad. Di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan,
disebutkan bahwa Syekh Muhammad Arsyad ikut berperan dalam keputusan
hukuman mati bagi Datu Abulung. Di buku ini dijelaskan bukti-bukti bahwa
hal tersebut tidak benar.
Typo atau kesalahan ketik di buku ini masih banyak. Tapi, somehow, tidak terlalu mengganggu seperti di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan. Oh
ya, ada satu kata dalam bahasa daerah Kalimantan Selatan (bahasa
banjar) yang nyelip di buku ini. Tepatnya ada di halaman 24 di kalimat
berikut:
…., apabila salah daripada mereka meninggal dunia, maka yang satu kena memandikannya.
Kata kena dalam kalimat di atas bisa diartikan sebagai nanti
dalam bahasa Indonesia. Ngomong-ngomong membaca kalimat di atas
langsung mengingatkan saya dengan gaya bicara guru saya yang juga
sekaligus si pengarang buku ini. Persis sekali
Buku ini tidak hanya menceritakan kisah
hidup Datu Abulung, tapi juga hubungan beliau dengan Syekh Muhammad
Aryad, ajaran-ajaran beliau, dan keturunan serta pengikut beliau yang
masih hidup sampai sekarang. Khusus bagian tentang ajaran-ajaran beliau,
membuat saya, untuk sekali lagi menyadari, bahwa tingkat spiritual saya
masih sangat jauh.
Overall, buku ini membuat saya
menyadari bahwa masih banyak yang tidak saya ketahui tentang daerah dan
agama saya sendiri. Kisah yang diceritakan dalam buku ini sangat dekat
tapi sekaligus terasa sangat jauh. Membaca kisah hiduh Datu Abulung
seperti membaca kisah hidup seorang wali yang nun jauh di seberang
pulau. Padahal beliau adalah seorang Syekh yang berperan besar
menyebarkan agama Islam di daerah saya sendiri.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada
guru saya yang memberikan buku beliau ini dengan cuma-cuma. Jujur kalau
tidak diberi gratis saya mungkin tidak akan membaca buku ini *ditimpuk
pakai sendal*.
Buku dengan genre seperti ini bukan my cup of tea.
Tapi saya rasa buku ini wajib dibaca oleh orang-orang yang hidupnya
jauh dari “dunia pesantren” seperti saya. Terutama untuk orang-orang
Kalimantan Selatan. Bangga rasanya mengetahui daerah sendiri ternyata
juga pernah mempunyai ulama hebat.
Kalau boleh request, saya harap
nanti juga ada buku tentang ulama-ulama dibalik Pesantren Rakha yang ada
di daerah Amuntai. Jujur saya tidak tahu apa-apa tentang pesantren
tersebut. Padahal pesantrennya dekat sekali dengan rumah saya. *ngesot
minder*.
Sama seperti kisah nya yang terasa dekat tapi jauh sekaligus, gaya penulisan buku ini, somehow, terasa lancar dan tidak lancar sekaligus. Saya cukup nyaman dengan gaya penulisannya, tapi typo dan kalimatnya yang terlalu panjang, serta informasi yang kurang lengkap membuat nya terasa tidak nyaman.
Contoh informasi yang kurang lengkap
misalnya seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Tidak dijelaskan
kenapa Syekh Abdul Hamid lebih dikenal dengan nama Datu Abulung,
meskipun kenapa beliau mendapat gelar Syekh dan Datu sudah ada.
Kemudian ada juga tentang shalat daim.
Memang dijelaskan apa itu shalat daim tapi jujur saya masih bingung
tentang shalat daim karena saya rasa ada yang missing dalam
penuturannya. Apakah shalat daim itu shalat lima waktu seperti yang
disebutkan di awal sub bab ataukah shalat yang setidak-tidaknya
dilaksanakan sekali seumur hidup seperti yang disebutkan di akhir sub
bab atau dua-duanya benar tergantung pendapat ulama mana yang kita
ikuti.
Dan ngomong-ngomong tentang bagaimana keramatnya Datu Abulung yang
kebal terhadap berbagai usaha pembunuhan, saya jadi teringat legenda
Achilles dari Yunani dan juga cerita fantasi Percy Jackson by Rick
Riordan. Mereka hanya sama-sama bisa dibunuh jika dilukai pada titik
tertentu di tubuh.Selain itu juga pembuktian kata-kata Datu Abulung dengan darah merah dan darah putih beliau. Mirip legenda Banyuwangi ya. Sebagai pembuktian apakah si korban bersalah atau tidak. Kalau tidak bersalah maka air sungai akan beraroma wangi.
Mengingat kemiripan-kemiripan ini membuat saya iseng berpikir bagaimana sebuah kejadian bisa memiliki kesamaan seperti itu. Dengan pengecualian kisah Datu Abulung yang saya rasa memang benar-benar terjadi, saya jadi berpikir dari mana ide dari peristiwa yang ada di dalam cerita Achilles atau Banyuwangi itu berasal, apakah memang benar-benar terjadi, hanya khayalan yang tiba-tiba muncul dari kepala pengarang, atau dari cerita mulut ke mulut yang awalnya hanya bersumber dari suatu peristiwa yang benar-benar terjadi tapi karena telah tersebar terciptalah versi masing-masing daerah. Wallahu a’lam.
At last, 3 dari 5 bintang untuk kisah hidup Datu Abulung. Terutama untuk keberhasilannya yang membuat saya ingin lebih banyak lagi membaca buku-buku sejenis ini.
So, I liked it