BAGAIMANA
SAYA MENULIS CERPEN
Oleh Fahrurraji Asmuni
Seperti kita ketahui bersama bahwa membuat cerpen sama dengan mendirikan
sebuah rumah. Ada bagian-bagian yang dibutuhkan seperti dasar/lantai,dinding,
atap,halaman muka dan belakang, ada kamar,ada ruang tamu,ada pintu,dan ada
jandelanya. Begitu dengan cerpen ada tema, alur, tokoh dan penokohan,
setting, sudut pandang, dan gaya bahasa. Inilah unsur-unsur yang
membangun sebuah cerpen sehingga bisa berdiri kokoh di tengah-tengah pembaca.
Untuk dapat membuat cerpen dengan baik saya membuat tiga tahapan,yaitu
perencanaan, pengembangan,dan revisi.
1. Perencanaan
Dalam perencanaan ini saya menggunakan rumus 5 W + 1 H
n What = apa
n Who = siapa
n Why = mengapa
n When = kapan
n Where = di mana
n How = bagaimana
Apa yang terjadi / dilakukan ( ingin bertemu
dengan teman)
Siapa nama teman tersebut (
)
Di mana pertemuan dilaksanakan (
di Banjarmasin)
Kapan terjadinya pertemuan itu
(siang atau malam)
Mengapa ingin bertemu (karena rasa
rindu,setelah puluhan tahun berpisah dengan teman)
Bagaimana usaha yang dilakukan
(mencari alamat teman tersebut), bagaimana hasilnya (mengharukan)
Perencanaan ini dibuat supaya mudah
dalam penggarapan alur cerita.
2. Pengembangan
Dibuatlah paragraf
pembuka sebagai berikut :
Kabut pagi memeluk terminal Pal 6. Lampu-lampu yang
bergelantungan di warung-warung tertunduk malu. Toko-toko sekeliling terminal
itu diam membisu. Sunyi. Tak ada terdengar celoteh para pemabuk. Tak
bisik-bisik penjaja cinta. Suara azan subuh pun telah lenyap ditelan
waktu. Jam di HP-ku menunjukkan pukul 05.30.
Saat itulah bus jurusan Samarinda
– Banjarmasin merayap di dada terminal yang lagi
mendengkur. Para tukang ojek yang sejak tengah malam bertengger di
kenderaan masing-masing bergerak lincah menyambangi bus yang kutumpangi.
Mereka mencicit-cicit menawarkan jasa.
Dari sini imajinasi terus
mengalir membentuk alur, menguraikan tingkah laku dan jalan pikiran si tokoh
. Digambarkan kesabaran si tokoh mencari teman lamanya dari
kampung kelayan sampai ke Kayu Tangi. Cerita berakhir setelah bertemu
kedua teman itu bertemu.
Dalam pengembangan cerita saya tidak membuat
kerangka,saya biarkan mengalir seperti air dari hulu ke hilir.
3. Revisi
Setelah
cerita selesai dibuat diendapkan dulu satu atau dua hari. Hari berikutnya
baru dibaca dengan saksama, apakah alurnya, tokoh dan penokohannya, atau
bahasanya perlu diperbaiki. Pada tahap ini diadakan pengeditan dan
penyempurnaan naskah cerita. Cerpen “Pertemuan” (lihat Ketika Api Bicara)
mulanya biasa, karena dirasa kurang menarik lalu diubah sebagai berikut
:
“Masuk gang, ya
Mas,” celetuk tukang ojek membuyarkan lamunanku.
“Tidak usah, di muka
saja.”
Setelah sampai aku
turun dari kendaraan. Kuserahkan selembar uang puluhan ribu. Biasanya, uang
kembaliannya dua ribu rupiah.
“ Dua puluh
ribu, Mas!” cecarnya
“Hah. Jangan
bercanda.”
“Tidak. Ini serius.”
“Masak jarak sedekat
ini ongkosnya dua puluh ribu. Aku biasanya naik ojek dari terminal Pal 6 ke
Kayu Tangi ini hanya delapan ribu rupiah. Jadi, sepuluh ribu itu sudah
banyak.”
Suasana sekitar STIE
masih sepi. Hanya sesekali terdengar deru motor lewat.Wiridan para
jamaah di mushala baru berhenti. Penghuni gang masih nyenyak di bawah selimut
tebal. Hanya aku dan tukang ojek yang ada di mulut gang itu.
“Dua puluh itu sudah
biasa.”
“Jangan bohong. Aku
setiap Kamis ke Kayu Tangi ini. Terkadang naik taksi. Tidak jarang pulang
nampang ojek. Aku tahu persis berapa ongkos taksi atau ojek.”
“Aku biasanya,” ujar
tukang ojek tersebut tetap ngotot, “mengantar penumpang Samarinda ke sini
ongkosnya segitu!”
“Aku kan dari
Amuntai, bukan Samarinda. Kebetulan saja menumpang bus jurusan
Samarinda– Banjarmasin. Dan ongkosnya hanya Rp 15 ribu,” tukasku
menjelaskan.
“Pokoknya kamu bayar
dua puluh!” hardiknya.
Uang yang kuletakkan
di kendaraan itu diambil dan dilemparkannya kepadaku. Aku terkejut. Aku tidak
menyangka dia berbuat demikian. Dan baru sekali ini aku menjumpai tukang ojek
yang kasar begini.
“Eh, jangan begitu,”
kataku sambil memungut uang tersebut lalu menyerahkan lagi kepadanya. “Ini
rezekimu, masak ditolak. Syukurilah…”
“Ya, ini rezekiku.
Dan ini rezekimu,” tukasnya sembari malayangkan tinju ke mukaku. Aku tidak
sempat mengelak. Darah pun muncrat dari pelipisku.
“Sabar. Sabar kawan.
Aku kabulkan kehendakmu.”
“Sudah terlambat,”
cecarnya terus menjotosku. Tetapi kali ini meleset karena aku menghindar. Dia
semakin geram. Dan terus menyerangku bertubi-tubi dengan pukulan. Aku
terpaksa ambil langkah seribu. Lari menghindar menuju rumahku.
Dia mengejarku lebih
kencang. Dari belakang rambutku berhasil dia jambak. Karena sakit, dengan
reflek aku berbalik. Buuk! Tinjuku kena perutnya. Dia rebah tertelantang.
Dengan cepat kutindih badannya. Dan kulihat dia tak berdaya.
Aku ingin melihat
wajah si tukang ojek yang keterlaluan itu. Kubuka helm yang sejak tadi
menutup kepala dan wajahnya. Terlihat olehku bekas luka sebesar ibu jari di
pipi kanannya. Ya Allah, dia temanku yang kucari selama ini. Dia adalah Dani.
Seketika itu aku jadi lemas.
Merasa tindihanku di
badannya melemah, dia meronta sekuatnya. Aku pun terguling ke samping. Dengan
leluasa tubuhku diinjiknya. Keperihan demi keperihan kurasakan menjalari
bagian tubuhku yang terluka.
“Dani, bunuhlah aku.
Aku rela mati di tanganmu, sahabatku sendiri yang selama ini kucari-cari,”
rintihku.
“Siapa kau?!” Dia
berhenti menghantamku. Rupanya dia tidak mengenaliku lagi. Aku memang sudah
jauh berubah dalam kurun waktu duapuluh tahun ini.
“Oh, maafkan aku.
Tadi aku begitu kesetanan.”
Kami pun
berpelukan. Ada gemuruh rasa mengguncang dada. Perih luka jadi tak
terasa. Riuh-rendah suara orang-orang berdatangan
menyaksikan perkelahian kami, tidaklah terdengar. Kami tenggelam dalam
keharuan.*
|
Mari kita melanglang buana menembus cakrawala biru menyelam ke dasar samudra terbang melayang di angkasa seiring denyut jantung dan desah-desah aliran darah. Kita nikmati hidup penuh kesyukuran.Kita arungi hidup dengan menanam biji-biji kebajikan.Jangan bersedih apalagi melahirkan kata-kata seperti ini : Jangan kau jamah hati lara Usah kau cium derita kedua Biarkan aku mengembara Tanpa membawa kasihmu. SASTRA MENGANDUNG KEINDAHAN BUDAYA MERUPAKAN CERMIN LINGKUNGAN PERADABAN
Sabtu, 23 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar