Oleh Fahrurraji Asmuni
Nama
Arsyad Indradi tidak asing lagi bagi kita. Beliau diberi gelar Penyair
Gila. Beliau menerima dengan senang hati gelar itu. Malah beliau bangga
dengan gelar tersebut. Adakah kita berpikir sebelumnya ada apa dengan
diri beliau. Mengapa beliau mau menerima dengan gelar super terhormat
itu. Apakah beliau memang tidak waras ? Beliau sangat waras, sehat
wakafiat lahir dan batin.
Penulis
teringat akan ucapan almarhum KH Janawi, guru penulis ketika belajar
ilmu tasawuf tahun 1990 bahwa para ahli sufi itu suka berbuat yang
aneh-aneh, selalu dekat dengan Allah, lidah dan hati selalu berzikir
kepada-Nya, muraqabah dan mahabbah selalu terjaga, berpakaian seadanya,
suka memanjangkan janggut dan rambut, suka membuat syair dan suka diberi
gelar “orang gila”. Malah ada yang memproklamasikan bahwa mereka orang
gila.
Tokoh sufi masa
lalu yang senang menyandang gelar gila antara lain : Hayyan bin Ali
Al-Tunisi, Alwalid bin Abdurrahman, Abu Hasan Al-Ansi, Abu Yzid, Qiddis
Al-Bishri, Sahal. Dengan menyandang gelar “orang gila” para ahli sufi
bebas bertindak karena terlepas dari perhatian orang banyak.Arsyad
Indradi, juga memiliki sifat dan sikap seperti pata tokoh di atas,
meskipun hanya sebagian.
Untuk
menguatkan menguatkan dugaan bahwa beliau seorang sufi mari kita buka
buku “ Narasi Musafir Gila “ (2006). Frasa “Narasi Musafir Gila” dalam
ilmu tasawuf mempunyai arti Kisah ( seorang) Pengembara mencari Kekasih
sejati. Atau Kisah Seorang Suluk mencari Sang Khalik di bawah bimbingan
Sang Mursyid. Sang Mursyid adalah pembimbing seseorang melalui jarak
jauh, bisa lewat mimpi, lewat inspirasi dan lewat mata hati. Istilah
lain bimbingan rohani. Ilmu yang diperoleh dari bimbingan tersebuat
disebut ilmu laduni.
Arsyad Indradi nampaknya pernah mengalamai bimbingan seperti itu lewat inspirasi atau perenungan-perenungan. Kubelah
ayat-ayat batumu di kulminasi bukit/Yang terhampar di
sajadahku/kujatuhkan di tebingtebing lautmu/Cuma gemuruh ombak dalam
takbirku// (hal.1).
Inilah
awal-awal perjalanan mencari dan memahami tentang ketuhanan (suluk)
seorang hamba Allah, Arsyad Indradi. Arsyad Indradi sebagai pengembara
di dunia ini bersama beribu orang lainnya merasa salah langkah. Inilah
pengakuannya : Angin mana di gurungurunmu beribu
kafilah/Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu/ Dan bersafsaf
di bumi oasismu yang letih/.
Menyadari ketersesatannya, Arsyad Indradi, kembali ke jalan yang benar dan tidak akan melupakan Sang Khalik selamanya. Kuseru
namamu tak hentihenti/Di ruas jarijari tanganku/ Yang gemetar dan
berdarah/Tumpahlah semesta langit/Di mata anak Adam yang sujud di
kakimu// (Narasi Ayat Batu, hal.1).
Untuk
mencapai tingkat Ilahiah yang tinggi seorang sufi atau calon sufi mesti
melakukan tiga langkah perbuatan yaitu takhalli, tahalli, dan yajalli.
Takhalli ialah membuang segala keburukan-keburukan yang pernah dilakukan
pada masa lalu atau pun yang akan datang. Setelah bersih semuanya baru
jiwa diisi dengan kebaikan-kebaikan. Dengan kebersihan jiwa si sufi akan
merasakan tajalli/keberadaan Allah di sisinya bahkan merasakan dalam
jiwanya.
Arsyad Indradi telah melakukan takhalii seperti katanya : Kulepas
burungburung/ Keawanawan serbuk masa silam/Sebab pohon yang
kutanam/Menanggalkan dedaunan/Helaidemihelai namamu/rebah ke
bumi/Sepanjang khatulistiwa/Matahari berdarah/Menetes di
bulubulunya/Yang putih/Maka jangan kau cari lagi/ Siapa yang luka di
antara kita//Jangan kau tanya lagi/Benih dalam rahimmu/Yang
terbelah/Oleh bibir-bibir kita sendiri/Dari peradaban yang
hilang/Terbanglah membidik masa masa depan/Di hatinurani yang
terbakar/Gumpalan rindu dendam/ Dan lepas dari ikatan// (Narasi Burung, hal.5).
Karena
sudah menghilang dosa-dosa masa lalu dengan bertobat, Arsyad melakukan
langkah tahalli yaitu dengan mengisi setiap detik hidupnya dengan selalu
berzikir. Kujahit gorden jendela dengan zikir/kujahit
kelambu dengan zikir/kujahit bantalguling dengan zikir/kujahit seperai
dengan zikir/kujahit baju dengan zikir/kujahit taplak dengan zikir// (Jahitan zikir,hal.86).
Zikir
yang diamalkan Arsyad adalah zikir Tanazzul. Zikir tingkat enam dalam
ilmu tasawuf yaitu Hu-Allah. Zikir ini mampu memberi kesadaran yang
dalam bagi siapa yang mengamalkannya. Zikir Tanazzul yang diamalkan
jelas terasa pada puisi “Darah” yaitu : Darah hidupku
Hu-Allah/Darah matiku Hu-Allah/Darah hidupmatiku Hu-Allah/Darah raungku
Hu-Allah/Darah cakarku Hu-Allah/Darah laparku Hu-Alla/Darah hausku
Hu-Allah/Darah ngiluku Hu-Allah/Darah rinduku Hu-Allah// (hal.38). Zikir seperti ini juga ditemukan pada puisi “Mendulang Cahaya Bulan”, halaman 63 dan “Dosa” halaman 71.
Karena
seluruh jiwanya diserahkan kepada Sang Kahlik, Arsyad Indradi merasa
menyatu dengan Sang Khalik tersebut. Dia begitu mesra dengan tuhannya
bagaikan warna putih kain yang menyatu dengan kainnya. Dalam puisi
Darah, halaman 38, diungkapkannya : Hu-Allah darahku
hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas
darahku membatubara/di kunci rahasia Alifmu Alif Alif//.
Sebenarnya
masih banyak puisi dalam Narasi Musafir Gila ini yang membuktikan bahwa
Arsyad Indradi seorang sufi. Namun apa yang penulis paparkan di atas
sudah cukup kuat untuk menyatakan bahwa Arsyad Indradi seorang sufi,
maka puisi-puisi yang lain dalam buku ini tidak perlu lagi kita
ungkap.***
(Amuntai, 22 Januari 2013 ).
Dimuat di : Media Kalimantan, 27 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar